Hit Counter:

Kamis, 21 Juli 2011

Yang sakit anaknya yang diterapi Ibunya

Suatu hari saya ketemu dengan sepasang Suami istri di Bandara,  sambil menunggu panggilan boarding kami ngobrol ngalor-ngidul. Tanpa disadari awalnya dari mana,  obrolan kita sampai ke topik masalah perilaku anak.  Sang Ibu dengan sangat bersemangat menyampaikan betapa sedihnya menghadapi kelakuan anaknya yang sangat tidak bertanggung jawab.

Anak saya cowok pak sudah kelas 2 SMP,  suruh mandi saja susahnya bukan main,  selain itu setiap hari saya harus merapikan dan menyiapkan semua keperluan sekolahnya.  Mulai dari tas,  buku sesuai jadwal,  bekal makan dan minum,  bahkan sampai ke mainan yang sedang disukai.  Sepulang sekolah dia selalu melempar tas sekolahnya dan membiarkan buku dan seisi tasnya berserakan di lantai.  Saya lagi yang merapikan.

Makan juga begitu,  kalau nggak disiapin,  disuapin, bisa-bisa seharian dia tidak makan.  Pernah saya coba pingin tahu,  tidak saya suruh dan tidak saya ambilkan makan.  Ya  benar-benar nggak makan.  Dia lapar tapi nggak mau usaha untuk mengambil makan.  Bagaimana ini pak?  apakah bisa diobati?

Setelah menghela nafas secukupnya (maklum habis konsentrasi mendengarkan sang Ibu bercerita bak senapan mesin),  saya bertanya: " Anak keberapa bu?"  Terakhir dari dua bersaudara,  kakaknya perempuan dan sudah SMA sangat mandiri,  jawabnya.  Menghela nafas lagi boleh kan?  lalu saya bertanya lagi:" Selama ini bagaimana Ibu memperlakukan dia,  apakah Ibu pernah memperlakukan dia seperti anak yang sudah besar?"

Mendengar pertanyaan saya sang ibu bilang bahwa sudah,  "Saya sering menyuruhnya dewasa dan berperilaku seperti layaknya anak sudah SMP kelas 2."  Namun sang ayah tersenyum dan menimpali:" Nggak pak,  Istri saya selalu memperlakukan dia seperti anak kecil yang masih bayi."  Setiap saat dimanapun,  kapanpun selalu diciumi,   Bahkan di depan teman-temannya sepulang atau saat berangkat sekolah.  Saya kadang melarangnya karena kasihan dia malu diciunmi kayak anak kecil di depan teman-temannya.

Saat itu juga saya sudah bisa menyimpulkan diagnosa saya. "Ibu bisa puasa,  menahan diri tidak menciumi anak ibu barang 1 minggu saja?" tanya saya kepada sang Ibu.  Spontan wajah sang Ibu keliatan pucat dang seketika itu juga bilang:" Oh tidak bisa,...tidak bisa!"  Bagaimana nanti saya kalau sehari saja nggak mencium dia,  bisa pusing saya.

"Lho kenapa?"
"Ya pokoknya nggak bisa,...saya nggak bisa kalau disuruh tidak menciumi anakku itu."
"Lha Ibu pingin anak Ibu sembuh nggak?"
"pingin"
"Ya kalau pingin anaknya Ibu sembuh,  Ibu harus menahan diri tidak menciumi anak ibu titik!"

Panggilan boarding berkumandang di sound system bandara,  tanda saya dan juga sepasang suami istri tadi harus naik ke pesawat.

Seminggu kemudian,  dan saya sudah lupa atas kejadian ini,  bahkan saya juga lupa kalau sempat ngasih nomor telepon saya pada Ibu yang saya ceritakan tadi.  HP saya bergetar,  ada panggilan dari nomor yang tidak saya kenal.  Diujung sana berteriak seorang Ibu,  dia bilang:" Paaaaakk,...alhamdulillaaaah sekarang anak saya sudah sembuh,...sudah baik mau mandi dan sudah mau mengemas buku sekolahnya sendiri!"   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar